Kotanusantara.id, Samarinda – Isu politik uang atau money politic kembali mencuat menjelang pemilihan umum di Indonesia, termasuk di Kota Samarinda. Praktik ini menjadi tantangan besar dalam memperkuat demokrasi dan integritas politik di daerah tersebut.
Hasil survei terbaru menunjukkan bahwa hampir 60 persen responden menganggap politik uang sebagai hal yang lumrah, bahkan menyebutnya sebagai “hadiah” dari calon pemimpin. Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur (UNU Kaltim), Sari Mulyani, mengungkapkan bahwa di lingkungan sekitarnya, banyak masyarakat yang sudah menganggap praktik politik uang sebagai kebiasaan.
“Ada yang mengatakan, ‘kita tunggu saja amplop dari paslon A atau B,’” ujarnya.
Mulyani menambahkan bahwa kebiasaan ini membuat masyarakat sulit keluar dari sistem yang merusak tatanan demokrasi. Ia mendorong adanya kesadaran bagi masyarakat bahwa politik uang adalah pelanggaran.
Menurutnya, salah satu penyebab rendahnya kesadaran ini adalah kondisi ekonomi yang belum stabil. Banyak warga yang merasa terpaksa menerima politik uang karena kebutuhan sehari-hari, meskipun mereka tahu praktik tersebut tidak etis.
“Banyak yang berpikir, daripada tidak mendapat apa-apa, lebih baik menerima amplop itu,” tambahnya.
Mulyani menilai bahwa kesulitan ekonomi membuat masyarakat lebih menerima praktik yang merusak demokrasi. Untuk memutus siklus ini, ia menekankan pentingnya pendidikan politik, baik melalui lembaga pendidikan maupun pemerintah, agar masyarakat memahami dampak negatif dari politik uang.
“Bukan hanya lembaga pendidikan, pemerintah juga harus hadir memberikan edukasi politik yang sesuai dengan kondisi masing-masing lingkungan,” pungkas Mulyani. (hun/beb)
Sapos.co.id